![]() |
Dokter Tirta ungkap sisi lain pandemi COVID-19: dari edukasi nyeleneh hingga dugaan social engineering yang timbulkan kerontokan ekonomi global. (Foto: TT/tirtacipeng) |
NEXZINE.ID - Pandemi COVID-19 yang mengguncang dunia sejak akhir 2019 ternyata menyisakan berbagai spekulasi, analisis sosial, dan kritik kebijakan. Salah satu yang cukup vokal menyuarakan opini kritis adalah dokter sekaligus influencer kesehatan, dr. Tirta Mandira Hudhi.
Dalam sebuah wawancara terbuka, dr. Tirta menyampaikan bahwa meskipun virus COVID-19 itu nyata, orkestrasi sosial dan ekonomi di balik penanganan pandemi tidak bisa dikesampingkan.
"COVID itu real, virusnya ada. Tapi ini juga bentuk social engineering. Orkestrasi untuk menyebar ketakutan itu luar biasa," ujarnya.
Lockdown dan Kritik Awal: “Aku Dirujak”
Dr. Tirta mengungkap bahwa ia sempat menerima kritik keras dari masyarakat dan rekan sejawatnya saat menyuarakan ide lockdown lokal.
"Dulu aku bilang, kalau COVID masuk ke satu daerah kecil, bisa kita lockdown untuk memutus rantai penyebaran. Tapi faktanya tidak sesederhana itu. Aku dianggap sok tahu dan dirujak habis-habisan."
Bukan hanya itu, edukasi nyelenehnya dalam Bahasa Jawa, seperti “mangan-mangan masker”, juga membuatnya ditertawakan. Namun, menurutnya, saat vaksin belum tersedia, edukasi soal menjaga imun tubuh adalah langkah realistis.
Krisis APD dan Ketimpangan Ekonomi
Puncak dari keresahannya muncul ketika harga Alat Pelindung Diri (APD) melonjak tinggi. Dr. Tirta bahkan mengaku rugi besar ketika menyumbang APD saat awal pandemi karena harga satuan mencapai Rp1,5 juta.
"Yang butuh N95 malah harus bayar mahal. Ada bisnis di balik krisis," ungkapnya.
Dalam sudut pandang ekonomi, ia mengaitkan pandemi dengan reshuffle kekuatan bisnis global. Usaha kecil banyak yang tumbang, sementara perusahaan besar justru semakin menguat.
"Lihat saja Big Pharma seperti Pfizer. Di saat UMKM kolaps, perusahaan besar justru untung berkali-kali lipat."
Fakta Medis: COVID Real, Tapi Komorbid Jadi Faktor Utama Kematian
Meskipun ada teori mengenai social engineering, dr. Tirta tetap menegaskan bahwa pasien meninggal karena COVID-19 memang nyata dan jumlahnya signifikan, khususnya yang memiliki komorbid seperti jantung, diabetes, atau autoimun.
"Rata-rata pasien meninggal karena COVID punya tiga komorbid. Virus ini seperti jalan tol menuju maut, apalagi jika sudah ada penyakit bawaan."
Ia juga menanggapi isu kuburan massal dan tayangan TV yang menggambarkan horor pandemi.
"Kuburan massal itu nyata. Tapi ya, conditioning media memang sangat memengaruhi ketakutan publik saat itu."
Pandemi dan Ketahanan Sosial
Dr. Tirta juga menyentil soal kebijakan social distancing yang menurutnya kurang realistis di negara dengan populasi besar dan mobilitas tinggi seperti Indonesia.
"Kita nggak bisa sepenuhnya menerapkan social distancing karena karakter masyarakat kita. Yang terjadi malah kerontokan ekonomi luar biasa."
Namun, ia juga menyoroti munculnya kelompok “orang kaya baru” yang untung besar dari pandemi, menguatkan dugaan bahwa ada proses reshuffle ekonomi global yang tidak merata.
Kesimpulan
Pandemi COVID-19 telah menjadi fenomena multidimensi. Dari sisi medis, sosial, hingga ekonomi, semua terdampak signifikan. Meski virusnya nyata, narasi-narasi tentang kepanikan massal dan ketimpangan ekonomi menimbulkan pertanyaan besar: Benarkah pandemi juga menjadi panggung orkestrasi kekuasaan dan uang?